Alumni Teknik Mesin 2002

Alumni Teknik Mesin 2002
Universitas Jember

Kamis, 10 Juni 2010

ALL ABOUT GASOLINE or BENSIN

ALL ABOUT GASOLINE or BENSIN

________________________________________
ALL ABOUT GASOLINE or BENSIN
Kebutuhan Gasolin Indonesia
Gasolin adalah suatu senyawa organik yang dibutuhkan dalam suatu pembakaran dengan tujuan untuk mendapatkan energi/tenaga. Gasolin ini merupakan hasil dari proses distilasi minyak bumi (Crude Oil) menjadi fraksi-fraksi yang diinginkan. Di Indonesia Badan Usaha Milik Negara Pertamina saat ini menjadi pemeran tunggal yang sekaligus melaksanakan fungsi mencari sumber minyak dan gas bumi, mengolah dan menyediakan bahan bakar. Adapun jenis-jenis bahan bakar minyak yang diproduksi dan diperdagangkan di Indonesia untuk keperluan kendaraan bermotor, rumah tangga, industri dan perkapalan adalah sebagai berikut:
1. Super TT, Premix, Premium (gasolin untuk motor) dan BB2L,
2. ELPIJI dan BBG,
3. Minyak Tanah (kerosene),
4. Minyak Solar (gas oil),
5. Minyak Diesel (diesel oil),
6. Minyak Bakar (fuel oil)

Kerugian Pemakaian Timbal Pada Mesin
Kerugian pemakaian timbal pada mesin kendaraan adalah timbulnya kerak deposit sisa pembakaran yang menumpuk pada sistem pembuangan maupun pada ruang pembakaran (combustion chamber). Apabila kerak ini semakin membesar akan berdampak pada menurunkan kinerja mesin, konsumsi bahan bekar semakin meningkat yang pada gilirannya mendorong tingginya biaya operasional dan pemeliharaan kendaraan. Satu hal yang disayangkan, bahwa meskipun teknologi otomotif akhir-akhir ini telah dikembangkan sehingga seluruh kendaraan keluaran baru menuntut digunakannya bensin tanpa timbal dengan oktan yang tinggi, namun sering terjadi misfueling, yaitu kendaraan yang semestinya menggunakan bensin tanpa timbal tetapi diisi dengan bensin timbal. Kondisi ini merusak fungsi catalytic converter. Berdasarkan survei yang dilakukan US - EPA, kasus misfueling ini cukup banyak terjadi (12% dari seluruh kendaraan yang dilengkapi catalytic converter). Hal ini terjadi karena masih adanya substitusi bahan bakar oktan tinggi dengan harga murah berupa leaded ga soline (kasus di Indonesia).

Konversi Internasional Gasolin Menuju Bensin Tanpa Timbal
Di Amerika Serikat upaya konversi gasolin menuju pemakaian bensin tanpa timbal ini telah dirintis semenjak awal 1980-an, yaitu dengan dikeluarkannya aturan untuk menurunkan kadar timbal pada gasoline secara bertahap oleh US Environmental Protection Agency (EPA). Pada tahap awal yaitu untuk kendaraan ringan (light duty vehicle) produksi tahun 1975 telah dilengkapi dengan catalytic converter dan membutuhkan bensin tanpa timbal mulai tahun 1981. Tahap berikutnya adalah membatasi kadar timbal pada gasoline maksimum 1.1 cc/USG atau 0.3 gram/liter, di mana jumlah ini secara terus me nerus diturunkan menjadi 0.15 gram/liter dan selanjutnya menjadi bensin tanpa timbal sejak akhir 1980-an. Proses konversi penghapusan timbal pada gasoline ini selanjutnya diikuti oleh negara-negara Eropa dan negara-negara lain pada awal tahun 1990-an.
Proses konversi penghapusan kadar timbal pada gasoline ini di tahun 1990-an juga berlangsung di Asia Tenggara, misalnya Malaysia sebagai negara ASEAN pertama yang menerapkan bensin tanpa timbal pada 1 Juli 1990, diikuti oleh Singapura pada 4 Februari 1991, Tha iland pada 1 Mei 1991, Brunei Darussalam pada 1 Januari 1993 dan Filipina mulai memperkenalkan bensin tanpa timbal di Manila pada akhir Desember 1993. Sementara Indonesia hingga saat ini masih menerapkan bensin dengan timbal.
Dalam perjalanannya upaya penghapusan bensin bertimbal – merupakan bahan bakar utama kendaraan sebagai pendukung utama transportasi masyarakat -- , banyak mengalami distorsi dan salah pengertian tentang pengaruh dan akibatnya bagi kendaraan mereka. Hal ini juga tidak terlepas dari pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan.
Persoalan yang timbul antara lain:
• Ada anggapan mesin kendaraan menjadi rusak kalau bensinnya tidak mengandung timbal sebagai zat additif. Timbal dalam hal ini berfungsi sebagai pelumas bagi katup dan mencegah letupan (anti knocking).
• Ada anggapan dari sebagian masarakat bahwa bila bensin tidak mengandung timbal mesin menjadi tidak bertenaga, sebab Pb digunakan untuk menaikan oktan.
• Kesediaan masyarakat menggunakan bensin tanpa timbal (Super TT & BB2L) masih susah karena harganya mahal dibanding bensin bertimbal dan distribusinya tidak merata.
Pengaruh bensin bertimbal bagi kendaraan yang selama ini dianggap dapat merusak mesin kendaraan sudah merupakan cerita yang tidak masuk akal terutama bagi kendaraan-kendaraan keluaran tahun 1985 keatas, bahkan penggunaan bensin tanpa timbal dapat mengurangi korosi. Kendaraan yang dirancang pada tahun 80-an sudah menggunakan dudukan katup yang keras sehingga tidak berpengaruh terhadap mesin saat pembakaran, sebagai pelumas dapat diganti dengan bahan lain yang tidak merusak kesehatan dan lingkungan.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat dan perusahaan pos Amerika, juga pemerintah Jerman tidak bisa membuktikan bensin tanpa timbal dapat merusak mesin mobil, kecuali pada mesin yang mempunyai dudukan katup yang tidak keras. Berdasarkan penelitian bensin tanpa timbal memang mempunyai pengaruh pada mesin-mesin kendaraan tua yang diproduksi sebelum tahun 80-an dapat merusak dudukan katup. Itupun kalau mobil/Motor dipacu pada kecepatan 100 km/jam selama satu jam terus menerus. Kalau kendaraan dijalankan dalam keadaan normal apalagi di Jakarta sulit kecepatan 100 km/jam selama satu jam terus menerus. Dengan demikian tidak ada persoalan penggunaan bensin tanpa timbal.
Menurut data dari Gaikindo jenis kendaraan yang beresiko rusak tersebut hanya 3% jumahnya. Bagi kendaraan tua untuk menanggulangi akibat rusaknya katup pada mesin dapat diatasi dengan zat aditif khusus untuk bensin (MTBE ; Methyltertiary Butyl-Ether).
Anggapan kedua yang sering membuat pemilik kendaraan memilih bensin bertimbal adalah kinerja mesin yang menjadi lemah. Padahal penyebab lemah atau kuatnya tarikan mesin adalah angka oktan dari bahan bakar (bensin) itu. Semakin tinggi nilai angka oktannya semakin baik untuk tarikan daya mesin. Untuk Indonesia, saat ini Super TT mempunyai nilai oktan (98) jauh lebih baik ketimbang premix (95) ataupun premium (88). Berdasarkan pengalaman bengkel Indomobil Suzuki (Rudi S) untuk mesin-mesin yang baru atau tahun 1985 ke atas bila mengunakan Super TT tarikan mesin lebih ringan dan mesin lebih bersih serta tanpa meninggalkan bekas dikatup (kerak) ruang pembakaran. Hanya saja persoalan harga, kiranya menjadi kendala. Secara teknis, kendaraan yang menggunakan bensin tanpa timbal justru akan meningkatkan daya, di samping nilai oktannya lebih tinggi juga mesin menjadi lebih besar sehingga daya yang dihasilkan lebih maksimal.

Katalitik Konverter
Dengan adanya tuntutan lingkungan akan mengakibatkan adanya perubahan pada industri automotive. Kendaraan bermotor yang diproduksi dituntut agar gas buangannya lebih dapat dikendalikan, yaitu dengan perubahan pada mesin – mesin mobil maupun motor serta pemasangan Catalytic Converter pada sistem gas buang sehingga kadar gas buang yang tidak dikehendaki seperti gas CO, NOx, SOx, dan Volatile Hidrocarbon dapat ditekan / dikurangi. Catalytic Converter tersebut membutuhkan bahan bakar yang tidak mengandung timah hitam / lead ( unleaded gosaline), karena timah hitam akan merusak /meracuni katalis pada catalytic converter tersebut.
Pada masa mendatang kendaraan bermotor (mobi/motorl) yang dilengkapi dengan Catalytic Converter akan menggeser mobil-mobil tua yang tidak dilengkapi dengan Catalytic Converter. Kendaraan ini dengan sendirinya akan merubah distribusi konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor (gasoline) yaitu dari leaded gasoline menjadi Unleaded gasoline. Khusus di Indonesia, penerapan program rephasing TEL/Lead secara bertahap telah dilaksanakan dan akan terus dilanjutkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada. Pada tahun 1990 Pertamina telah melakukan usaha mengurangi kandungan TEL/Lead dalam gasoline dari 2.5 cc/USG menjadi 1.5 cc/USG atau 0.45 gr /Liter. Usaha tersebut akan terus dilanjutkan dengan rencana program Lead Free secara bertahap sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan kemampuan yang ada, dan sejalan dengan program Lead Free maka akan diarahkan kepada program Reformulated Gasoline dimasa mendatang.

Sekian dulu bagi-bagi ilmunya yang gw dapat selama menempuh pendidikan. Semoga dapat membantu temen-temen semua dalam memilih bahan bakar buat kendaraannya dan mari kita rame-rame membantu program pemerintah “LANGIT BIRU “
UU No. 14 Th. 1992. Bahkan UU tersebut memberikan
"sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggitingginya Rp.2.000.000; kepada setiap kendaraan bermotor yang tidak memenuhi kewajiban persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan dan kepada setiap pemilik, pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor yang tidak mencegah terjadinya pencemaran udara".




PEace Ah



Bahan Aditif
Usai Timbel, Besi Mengancam

Oleh YUNI IKAWATI

Penduduk Indonesia mulai bisa bernapas lega ketika pemerintah pada 1 Juli 2006 lalu menghapus penggunaan timbel atau timah hitam—sebagai bahan aditif pada bensin—karena mengakibatkan gangguan kesehatan. Namun, dengan keluarnya rekomendasi pemerintah, baru-baru ini, untuk menggunakan Ferro atau besi, ancaman bagi kesehatan kembali muncul. Mengapa demikian?

Rekomendasi yang dikeluarkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup kepada Pertamina pada 20 November 2006 untuk menggunakan octane booster berbasis “Ferro� setelah kebijakan penghapusan timbel memang ibarat keluar mulut harimau masuk mulut buaya.

Ketika timbel atau plumbum (Pb) digunakan sebagai aditif, maka dampak negatif dari paparan emisi Pb yang ditanggung masyarakat mulai dari penyakit anemia, kerusakan fungsi otak atau penurunan tingkat kecerdasan, hingga kematian.

Namun, jika Ferro jadi diintroduksi, emisi gas oksida besi bila terhirup manusia menimbulkan gangguan penyerapan oksigen dalam darah ditandai dengan gejala pusing dan mual. Terlebih lagi bila masuk dalam jumlah tinggi, unsur ferum (Fe) ini dapat merusak fungsi saraf.

Seperti dikemukakan Michael P Walsh dari International Council on Clean Transportation, penelitian pada tikus percobaan menunjukkan, inhalasi oksida besi selama 13 hari menyebabkan berkurangnya bobot tubuh tikus.

Selanjutnya terjadi degradasi sel pada organ pernapasan, mulai dari hidung hingga paru dan juga hati. “Unsur ini menyebabkan terbentuknya senyawa radikal yang bereaksi dengan DNA,� jelas Walsh. Dampak lanjut adalah terjadinya mutasi gen hingga menimbulkan kanker.

Dari sisi kinerja mesin sendiri, penggunaan ferosen juga berefek negatif hingga menimbulkan polusi dan kerugian finansial yang lebih besar.

Mesin kendaraan

Pada mesin kendaraan, jelas Ahmad Safrudin, Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, unsur besi menimbulkan korosi lebih cepat, terutama pada busi.

Sementara di ruang pembakaran akan lebih cepat timbul deposit atau kerak dibandingkan tanpa Fe. Hal ini mengakibatkan pembakaran tidak sempurna. Itu artinya emisi hidrokarbon (HC) dan karbon monoksida (CO) meningkat.

Bukan itu saja, pada kendaraan bermotor yang diproduksi dengan standar Euro 2—sesuai Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru—disyaratkan larangan penggunaan bensin berunsur logam.

Pemakaian bensin dengan octane booster berbahan metal seperti Pb, Fe, dan mangan (Mn) akan mengganggu proses oksidasi pada katalitik konverter sebagai pereduksi gas buang. Padahal, katalis ini dapat mereduksi emisi HC, CO, dan nitrogen oksida (NOx) hingga 90 persen.

Rusaknya alat tersebut membuat gas lepas bebas, hingga kembali meningkatkan polusi udara, yang selama ini berusaha ditekan.

Pasalnya, pencemaran udara dari sumber bergerak atau kendaraan bermotor—khususnya di perkotaan—sudah mencapai 70 persen dari total emisi gas polutan (meliputi Pb, HC, CO, NOx, dan sulfur oksida atau SOx, dan partikel debu/PM). Semua gas hasil pembakaran itu berdampak negatif bagi kesehatan hingga mengakibatkan kematian.

Akibat penggunaan Ferosen belum berhenti sampai di situ. Kelanjutannya adalah merusak keseluruhan sistem pada kendaraan bermotor yang telah diprogram secara otomatis.

“Bila katalitik konverter tidak berfungsi, mobil akan otomatis melambat hingga 15 kilometer per jam,� urai Ahmad. Itu artinya kendaraan harus masuk bengkel, yang berkonsekuensi biaya perbaikan dan penggantian yang mahal.

Melihat semua dampak negatif penggunaan Ferro tersebut, rekomendasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Ahmad berkeyakinan, akan menjegal dan menggagalkan Program Langit Biru yang dicanangkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup sendiri pada tahun 1993 untuk mengatasi pencemaran udara yang sudah sangat buruk. Rekomendasi itu pun dinilainya sebagai poros halang penerapan SK Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003.

Pengukuran yang dilakukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2002 saja menunjukkan kualitas udara di kota besar dalam kategori buruk. Hari “baik� hanya 6-16 persen dalam setahun. Dan dampaknya, menurut Bank Dunia, pada tahun 1994 antara lain berupa 1.200 kasus kematian prematur dan 32 juta kasus penyakit pernapasan di Jakarta.

Bahan aditif

Tidak dapat dimungkiri, kebutuhan aditif sebagai pendongkrak angka oktan yang dapat mempercepat laju kendaraan bermotor memang ada.

Namun, sebelum penerapannya, tegas Ahmad, perlu dilakukan kajian risiko terlebih dulu seperti yang diamanatkan Undang-Undang No 23 Tahun 1997. Karena bagaimanapun, penggunaan bahan aditif berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia.

Di antara beberapa alternatif ramah lingkungan yang dapat dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut, menurutnya, adalah bioetanol dan aditif pengontrol deposit (DC).

Etanol tidak menimbulkan emisi gas yang beracun dan harganya jauh lebih murah karena menggunakan bahan baku lokal.

Penggunaan bioetanol juga akan menolong petani karena akan meningkatkan kebutuhan bahan pati sebagai bahan baku etanol seperti ketela pohon atau singkong.

Bioetanol dari singkong, jelas Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Unggul Priyanto, telah berhasil diuji coba produksinya di sentra perkebunan singkong di Lampung sejak tahun 1982. Selanjutnya, penerapannya di kendaraan bermotor dicoba secara intensif sejak tahun 2005.

Sementara itu, penggunaan aditif DC di negara maju sudah berlangsung lama. Aditif DC yang mengandung PEA (poly ether amine) tidak mengandung deposit di ruang bakar, dapat mengurangi emisi gas nitrogen, dan tidak menimbulkan racun dioksin.

Belakangan juga diperkenalkan viscon, polimer tingkat tinggi yang dapat mengurangi konsumsi bensin hingga belasan persen dan penurunan emisi NOx lebih dari 40 persen.

Beberapa alternatif tersebut, meski dilaporkan memiliki beberapa keunggulan dan keuntungan, tentu saja tetap memerlukan pengkajian dari sisi risiko dampaknya dan pendanaan dan aspek teknis lainnya sebelum ditetapkan untuk diterapkan di Indonesia.

Sumber :
KOMPAS, Senin 30 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar